Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan
berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu
praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya
jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang
mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan
seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu
berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan
aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam
merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya
kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut
diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi
jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah
bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual
beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.
Definisi Jual Beli
Secara etimologi,
al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari
الباع
(depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika
mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda
bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang
dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar
yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat
terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (
Taudhihul Ahkam, 4/211).
Di dalam
Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa
al-bay’u
adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela
atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya
kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan
keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan
adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya,
karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu
yang dimiliki saudaranya (
Subulus Salam, 4/47).
Dalil Disyari’atkannya Jual Beli
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).
Dalil Al Qur’an
Allah
ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)
Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat
manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan
berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli)
yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat
dalil yang melarang transaksi tersebut. (
Taisir Karimir Rahman 1/116).
Dalil Sunnah
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi
apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik
yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan
dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa
melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya
riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari
Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan
langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen,
dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang
lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu,
praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (
Fiqhus Sunnah,3/46).
Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat
membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang
atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik
berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam
pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi
tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (
Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka
meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual
beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi
berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah
merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut,
tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat
diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan
yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka
lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para
pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa
sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli
demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ
وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka
berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah
telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau
menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang
dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta,
mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (
Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari
Maktabah Asy Syamilah;
Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi,
Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh
mereka berdua”, lihat
Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari
Maktabah Asy Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib
memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat
melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak
terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari
Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ
“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang
faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan
menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab
Taudhihul ahkam 4/213-214,
Fikih Ekonomi Keuangan Islam
dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan
dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek
perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
- Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang)
merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau
barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang
untuk diperjualbelikan.
- Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual
barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR.
Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187,
Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang
bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap
apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara
muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
- Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual
burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur
dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli
seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
- Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak
halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat
kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat
itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan
dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan
riba, anggapan mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para
pedagang mengambil keuntungan yang sangat besar dari pembeli. Atas
dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan riba?!. Alasan ini
sangat keliru, Allah
ta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah
ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا
يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk
mengambil keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu
tergantung pada hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan
sikap santun dan toleran (disadur dari
Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat
dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat
beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan
petunjuk para ulama salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan,
santun dan puas terhadap keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan
membawa keberkahan dalam usaha. Ali
radhiyallahu ‘anhu pernah
berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat.
Jangan kalian tolak kentungan yang sedikit, karena kalian bisa
terhalangi mendapatkan keuntungan yang besar.”
Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan
keuntungan dengan menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat
kita membolehkan pembeli untuk menuntut haknya dengan mengambil
kembali uang yang telah dibayarkan dan mengembalikan barang tersebut
kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan
khiyarul gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis
khiyar.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai jual beli dan
beberapa persyaratannya. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin.
source :
muslim.or.id
Para Ulama telah bersepakat bahwasanya
hewan yang haram untuk dimakan maka kotorannya adalah najis. Namun
mereka berselisih tentang najis tidaknya kotoran dari hewan yang boleh
dimakan seperti onta, kambing, sapi, ayam dan yang lainnya.
Menurut
madzhab yang masyhur dari madzhab As-Syafi'iyyah dan madzhab
Al-Hanafiyah maka seluruh kotoran hewan adalah najis baik hewan yang
haram untuk dimakan maupun hewan yang halal dimakan. Oleh karenanya
mereka mengharamkan pula penjualan kotoran hewan karena hal itu
merupakan penjualan benda najis, dan penjualan benda najis hukumnya
haram. Al-Mawardi berkata :
فَأَمَّا مَا كَانَ نَجِسَ الْعَيْنِ
كَالْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَالْأَرْوَاثِ وَالْأَبْوَالِ ،
فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ شَيْءٍ مِنْهَا
"Adapun apa yang merupakan najis
'aini (nacis secara dzatnya) seperti khomr, bangkai, darah, dan
kotoran-kotoran, serta kencing maka tidak boleh menjual sesuatupun dari
hal-hal ini" (Al-Haawi Al-Kabiir 5/383)
Adapun madzhab Malikiyyah dan Al-Hananbilah juga sebagian pengikut
madzhab As-Syafi'iyyah (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam
Al-Majmuu' 2/549 dan Roudhotut Toolibiin 1/125) maka mereka membedakan
antara hewan yang halal dan hewan yang haram dimakan. Mereka berpendapat
akan thohirnya (tidak najisnya) kotoran hewan yang halal dimakan,
adapun hewan yang haram dimakan maka kotorannya adalah najis.
Dalil Madzhab Hanafi dan Madzhab As-Syafi'i
Dalil madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi berdalil dengan hadits Ibnu Mas'ud –radhiallahu 'anhu- dimana beliau –radhiallahu 'anhu- pernah berkata:
أتى النبي صلى الله عليه وسلم
الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ
حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فلم أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً
فَأَتَيْتُهُ بها فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وقال هذا
رِكْسٌ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam buang air besar, maka beliau memerintahku untuk mendatangkan bagi
beliau tiga buah batu. Akupun mendapatkan dua buah batu dan aku mencari
batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya. Maka akupun mengambil
kotoran lalu aku berikan kepada Nabi. Maka Nabipun mengambil kedua batu
tersebut dan melempar kotoran tadi dan berkata, "Ini najis" (HR
Al-Bukhari no 155)
Sisi pendalilan : Nabi membuang
kotoran hewan tersebut karena najisnya, hal ini menunjukan bahwa seluruh
kotoran hewan –termasuk hewan yang halal dimakan- adalah najis. (Lihat
pendalilan Hanafiyah dengan hadits ini dalam kitab Al-Mabshuuth li
As-Sarokhsi 1/108 dan badaai' As-Sonaai' 1/62)
Dalil madzhab Syafi'i
Adapun madzhab As-Syafi'iyyah maka mereka berdalil dengan tiga sisi pendalilan
Pertama :
Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadits Nabi tentang najisnya air
kencing. Seperti hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbaas
مَرَّ النبي صلى الله عليه وسلم
بِقَبْرَيْنِ فقال إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وما يُعَذَّبَانِ في كَبِيرٍ
أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ من الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ
فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
"Nabi –shallallahu 'alaihi wa
sallam- melewati dua kuburan, lalu ia berkata, "Sesungguhnya kedua
penghuni kuburan ini sedang disiksa, dan mereka berdua tidaklah disiksa
karena perkara yang besar. Adapun salah satunya karena tidak menjaga
diri dari air kencing dan yang kedua karena menyebarkan namimah" (HR
Al-Bukhari no 215)
Sisi pendalilan : Air kencing disini
disebutkan secara umum, maka mencakup seluruh air kencing termasuk air
kencing hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu' 2/549)
Kedua : Mereka berdalil dengan firman Allah
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ
"Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" (QS Al-A'roof : 157)
Sisi pendalilan : Tidak diragukan
lagi bahwasanya kotoran adalah sesuatu yang buruk, dan orang-orang Arab
menganggap jijik kotoran hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu'
2/549)
Ketiga : Mereka juga berdalil dengan qiyas, karena kotoran
hewan yang haram dimakan hukumnya najis menurut ijmaa' (kesepakatan)
para ulama maka demikian juga diqiaskan pada kotoran hewan yang halal
dimakan juga najis. Hal ini karena seluruh kotoran sama-sama memiliki
sifat kotor (jijik) menurut tabi'at manusia yang masih normal,
dikarenakan bau yang busuk. (lihat Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab 2/549
dan Fathul 'Aziz Syarhul Wajiiz 1/36)
Dalil madzhab Hanbali dan madzhab Maliki
Mereka
berdalil dengan hukum asal, bahwasanya hukum asal sesutau adalah suci
sampai ada dalil yang menunjukan kenajisannya (lihat As-Syarhul Mumti'
1/450), dan tidak ada dalil yang menunjukan akan kenajisannya. Bahkan
ada dalil-dalil yang menunjukan akan kesuciannya. Diantaranya :
Pertama :
Hadits tentang 'Uroniyyin. Dimana Nabi pernah memerintah orang-orang
yang datang dari 'Uroinah yang sakit untuk berobat dengan meminum
kencing onta.
وَأَنْ يَشْرَبُوا من أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
"(Nabi memerintahkan) mereka untuk meminum dari kencing onta dan susu onta" (HR Al-Bukhari no 231)
Sisi pendalilan : Kalau kecinng onta
itu najis tentunya Nabi tidak akan memerintakan mereka untuk berobat
dengan meminum benda najis (Lihat Al-Mughni 2/492)
Kedua : Nabi pernah sholat di kandang kambing, bahkan memerintahkan untuk sholat di kandang kambing. (Lihat Al-Mughni 2/492)
Anas bin Malik berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي قبل أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ في مَرَابِضِ الْغَنَمِ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sholat di kandang kambing sebelum dibangun mesjid" (HR Al-Bukhari no 232)
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi :
أُصَلِّي في مَرَابِضِ الْغَنَمِ قال : نعم
"Apakah aku sholat di kandang kambing?", Nabi berkata, "Iya" (HR Muslim no 360)
Dalam suatu hadits Nabi berkata,
صَلُّوا في مَرَابِضِ الْغَنَمِ ولا تُصَلُّوا في أَعْطَانِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ من الشَّيَاطِينِ
"Sholatlah kalian di kandang
kambing, dan janganlah kalian sholat di kandang onta karena onta
diciptakan dari syaitan" (HR At-Thirmidzi no 348 dan Ibnu Majah no 769)
Sisi pendalilan : Kandang kambing
pasti tidak lepas dari kotoran kambing dan kencingnya, akan tetapi Nabi
sholat di situ. Hal ini menunjukan bahwa kotoran kambing dan kencing
kambing tidak najis, karena tidak sah sholat seseorang di tempat najis
dengan kesepakatan ulama.
Dialog
Madzhab
As-Syafi'i : Nabi membolehkan untuk meminum kencing onta karena untuk
berobat, karena dibolehkan berobat dengan benda-benda yang najis kecuali
khomr (lihat Al-Majmuu' 2/549 dan Fathul 'Aziz 1/38)
Madzhab Hanbali : Nabi telah dengan tegas melarang berobat dengan benda-benda yang najis. Abu Huroiroh berkata
نهى رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
"Rasulullah melarang dari obat
yang khobiits" (HR Abu Dawud no 3870 dan Ibnu Majah no 3459, dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Rasulullah juga bersabda :
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah menciptakan
penyakit dan obat, maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat
dengan sesuatu yang haram" (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
di As-Shahihah no 1633)
Kemudian kalau seandainya kencing
onta itu najis dan dibolehkan untuk diminum karena pengobatan tentunya
Nabi akan memerintahkan mereka untuk membersihkan dan mencuci
tempat/bejana air kencing onta tersebut (lihat Al-Mughni 2/492)
Madzhab As-Syafi'i : Memang benar
boleh sholat di kandang kambing akan tetapi kandang kambing yang bersih
bukan yang terkotori dengan kencing dan tahi kambing. Imam As-Syafii
berkata, "Maka Nabi memerintahkan untuk sholat di tempat tambatan
kambing, yaitu –Wallahu A'lam- di tempat yang bisa dinamakan sebagai
tempat tidurnya kambing yang tidak ada tahi kambingnya dan tidak ada
kencing kambingnya… barangsiapa yang sholat di tempat yang ada tahi onta
atau kambing atau tahi sapi atau tahi kuda atau tahi keledai maka wajib
baginya untuk mengulangi sholatnya" (Al-Umm 2/209)
Madzhab Hanbali : Imam As-Syafii
telah mengkhusukan apa yang tidak dikhusukan oleh Nabi, dan beliau telah
menyelisihi kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir berkata,
أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الصَّلاَةَ
فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ جَائِزَةٌ وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيُّ فَقَالَ
إِذَا كَانَ سَلِيْمًا مِنْ أَبْوَالِهَا
"Mereka berijma'
(sepakat) bahwasanya sholat di kandang kambing boleh, dan As-Syafi'i
bersedirian (menyelisihi mereka-pent), beliau berkata : (boleh) jika
kandang tersebut bersih dari kencing kambing-kambing tersebut"
(Al-Ijmaa' hal 38, dan ijmaa' ini dinukil oleh Ibnu Qudaamah dalam
Al-Mughni 2/492)
Madzhab As-Syafii : Lantas bagaimana dengan keumuman tentang najisnya air kencing?
Madzhab
Hanbali : Yang dimaksud dengan penyebutan kencing dalam hadits-hadits
seperti hadits dua penghuni kubur yang disiksa adalah kencing manusia
(kencing penghuni kubur itu sendiri), jadi tidak bisa dibawa ke makna
umum (lihat As-Syarhul Mumti' 1/451)
Lantas bagaimana dengan hadits Ibnu Mas'ud dimana Nabi melempar kotoran hewan dan berkata : Ini najis?
Jawab : Lafal hadits sbb
فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بها
"Maka akupun mengambil sebuah kotoran, lalu aku membawanya ke Nabi"
Kalimat رَوْثَةً "kotoran" datang
dalam bentuk nakiroh (bertanwin), dan dalam kadiah ushul fiqh bahwasanya
jika kalimat nakiroh datang dalam konteks kalimat positif maka
memberikan faedah muthlaq. Jadi kalimat رَوْثَةً tidaklah menunjukan
keumuman yang mencakup seluruh kotoran, akan tetapi maksudnya kotoran
tertentu. Maka kita bawakan kepada kotoran dari hewan yang haram
dimakan. Wallahu A'lam
Kesimpulan :
Dari
penjelasan di atas maka Nampak kekuatan dalil yang dikemukakan oleh
madzhab Hanbali dan madzhab Maliki. Jika kita menguatkan pendapat mereka
–bahwasanya kotoran kambing dan ayam adalah suci- maka tentunya boleh
menjual benda yang suci jika bermanfaat. Apalagi jelas manfaat
kotoran-kotoran tersebut untuk pupuk kandang.
Syaikh Sholeh Al-Fauzaan pernah ditanya :
نحن نملك عددًا من الأغنام، وما ينتج
من فضلات وروث أجلكم الله نجمعه ونكدسه، ولأننا لا نملك مزارع لنستفيد منه؛
فإننا نسأل : هل يجوز بيعها ويحل أكل ثمنه أم لا يجوز ؟
"Kami memiliki sejumlah ekor
kambing, dan kami mengumpulkan kotoran kambing-kambing tersebut lalu
kami menimbunnya. Karena kami tidak memliki perkebunan yang bisa
memanfaatkan kotoran-kotoran tersebut, maka kami bertanya : Apakah boleh
menjual kotoran-kotoran tersebut dan apakah halal memakan hasil
penjualannya?, ataukah tidak boleh?"
Syaikh Sholeh Al-Fauzaan menjawab:
لا بأس ببيع السماد الطاهر؛ مثل سماد
الأغنام والإبل والبقر . . . فروث ما يؤكل لحمه طاهر، وبيعه لا بأس به،
وثمنه مباح لا حرج فيه، إنما الذي فيه الاشتباه والإشكال هو السماد النجس
أو المتنجس، هذا هو الذي فيه الإشكال والخلاف، أما السماد الطاهر؛ فلا بأس
باستعماله، ولا بأس ببيعه وأكل ثمنه
"Tidak mengapa menjual pupuk yang
thoohir (suci dan tidak najis-pent) seperti pupuk dari kotoran kambing,
pupuk dari kotoran onta, dan pupuk dari kotoran sapi. Karena hewan yang
bisa dimakan dagingnya tahi (kotoran)nya itu thohir (suci) dan boleh
menjualnya. Hasil jualannya juga halal dan tidak mengapa. Hanyalah yang
masih ada syubhatnya dan permasalahan adalah pupuk yang najis atau
ternajisi, inilah yang masih ada permasalahan dan khilaf. Adapun pupuk
yang suci (thoohir) maka tidak mengapa dimanfaatkan, dan tidak mengapa
dijual dan hasil penjualannya boleh untuk dimakan"
(Dari Al-Muntaqoo min Fataawaa Al-Fauzaan, fatwa dari pertanyaan no 302)